Gilbert akan melempar buku pekerjaan rumahnya, dan bahkan meronta-ronta di lantai bila diperintahkan untuk mengerjakan tugas sekolah atau belajar. Liana, ibuny sangat depresi menghadapi Gilbert yang sangat anti belajar mengatakan ia sama sekali tidak tahu mengapa anaknya sampai begitu marahnya bila disuruh belajar, maka yang ia lakukan adalah menguncinya di kamar selama berjam-jam. Padahal hal itulah yang menjadi penyebab anaknya tidak mau belajar.
Hal itu tak hanya dialami oleh Liana, Vega ibu dari Yosua 11 tahun juga mengalami hal yang sama. Yosua yang pendiam akan pergi kabur naik sepeda bila waktu les matematikanya sudah tiba. Setelah pulang dari ‘kabur’nya itu, Vega sudah menyiapkan kemoceng yang digunakan untuk memukul kaki anaknya. “Dengan begitu, dia baru bisa kapok,” ujarnya. Padahal hal itu sudah beberapa kali terjadi dan Yosua tidak kapok-kapok juga. Vega juga seperti Liana yang sering malarang anaknya bermain bersama teman-temannya di kompleks perumahan mereka. Tak jauh dari rumah Vega, terdapat sebuah fasilitas taman. Namun, Vega berkali-kali lebih memilih menyuruh anaknya bermain saja di rumah ketimbang bermain di taman. “Tidak aman” katanya.
Bagi anak, kata “belajar” seringkali merupakan kata yang sangat ingin dihindari, dijauhi bahkan dimusuhi. Tidak bisa dipungkiri, banyak anak yang mengalam demikian, bahkan mungkin anak kita sendiri mengalaminya. Bisa jadi pengalaman mereka dalam belajar bukanlah pengalaman yang menyenangkan, tapi justru menyeramkan, menyakitkan, bahkan menakutkan. Betapa tidak, “belajar” seringkali diasosiasikan dengan pengalaman dimarahi, dipukul, atau bahkan “dilecehkan secara verbal”. Liana juga tidak memperbolehkan anaknya yang berusia 9 tahun itu keluar rumah bermain bersama teman-temannya dengan alasan takut dipengaruhi buruk oleh teman-teman anaknya. Sungguh ironis. Padahal anak seusia Gilbert (6-12 tahun) membutuhkan suasana kondusif dalam mengasah pengetahuan menjadi ketrampilan praktis misalnya dengan bermain bersama teman. Hal tersebut diungkapkan oleh Erik Erikson dalam teori perkembangan social manusia. Tokoh psikolog dunia ini mengatakman bahwa anak seusia itu telah memiliki pengetahuan dasar yang baik tentang kemampuan diri dan lingkungan. Setidaknya ada 3 manfaat penting dari memberi waktu bermain bersama teman-temannya. Dengan bermain, anak diajarkan unntuk berbagi, dilatih untuk melindungi kepentingan sendiri dan teman, dan anak usia di atas 8 tahun akan mulai belajar berempati.

Hal ini tidak disadari oleh Liana dan para ibu lainnya. Bermain seakan-akan menjadi sebuah penjahat bagi anak. Walau begitu, sudah banyak sekolah yang menanamkan anak untuk gemar belajar lewat bermain. Sekolah teman bermain (kindergarten) sampai sekolah dasar menyediakan fasilitas permainan edukasi bagi para muridnya.
Seperti terlihat di SDK Ipeka Jakarta Utara, pihak sekolah menyediakan sebuah tempat bermain lengkap dengan alat pengamannya. Permainan berkelompok seperti lomba lari estafet, dan bola tangan menjadi salah satu permainan dalam yang dilakukan dalam bidang studi olahraga setiap minggu. Putri dan Melanita, siswi SDK Ipeka terlihat sangat menikmati permainan bola tangan yang sedang mereka mainkan bersama teman-temannya di bawah pengawasan guru. Tubuh mereka berkeringat dan gerakannyaa sangat lincah. Beberapa kali Melanita melambai-lambaikan tangannya dengan gembira pada penulis ketika timnya berhasil mencetak skor. Tak hanya itu, beberapa temannya juga sempat menolong salah satu teman mereka yang terjatuh. Mereka meniup-niup lutut temannya yang lecet. Mungkin hal ini terlihat biasa, tapi inilah salah satu manfaat dari bermain bersama teman. Mereka belajar berempati. Dengan bermain, anak juga banyak belajar dari lingkungan dan interaksinya dengan teman. Hal tersebut dibutuhkan anak untuk ketrampilan ketika dewasa nanti. (BSB5)

No comments:
Post a Comment