12 January 2009

Ketika Anak Enggan Belajar

Gilbert akan melempar buku pekerjaan rumahnya, dan bahkan meronta-ronta di lantai bila diperintahkan untuk mengerjakan tugas sekolah atau belajar. Liana, ibuny sangat depresi menghadapi Gilbert yang sangat anti belajar mengatakan ia sama sekali tidak tahu mengapa anaknya sampai begitu marahnya bila disuruh belajar, maka yang ia lakukan adalah menguncinya di kamar selama berjam-jam. Padahal hal itulah yang menjadi penyebab anaknya tidak mau belajar.
Hal itu tak hanya dialami oleh Liana, Vega ibu dari Yosua 11 tahun juga mengalami hal yang sama. Yosua yang pendiam akan pergi kabur naik sepeda bila waktu les matematikanya sudah tiba. Setelah pulang dari ‘kabur’nya itu, Vega sudah menyiapkan kemoceng yang digunakan untuk memukul kaki anaknya. “Dengan begitu, dia baru bisa kapok,” ujarnya. Padahal hal itu sudah beberapa kali terjadi dan Yosua tidak kapok-kapok juga. Vega juga seperti Liana yang sering malarang anaknya bermain bersama teman-temannya di kompleks perumahan mereka. Tak jauh dari rumah Vega, terdapat sebuah fasilitas taman. Namun, Vega berkali-kali lebih memilih menyuruh anaknya bermain saja di rumah ketimbang bermain di taman. “Tidak aman” katanya.
Bagi anak, kata “belajar” seringkali merupakan kata yang sangat ingin dihindari, dijauhi bahkan dimusuhi. Tidak bisa dipungkiri, banyak anak yang mengalam demikian, bahkan mungkin anak kita sendiri mengalaminya. Bisa jadi pengalaman mereka dalam belajar bukanlah pengalaman yang menyenangkan, tapi justru menyeramkan, menyakitkan, bahkan menakutkan. Betapa tidak, “belajar” seringkali diasosiasikan dengan pengalaman dimarahi, dipukul, atau bahkan “dilecehkan secara verbal”. Liana juga tidak memperbolehkan anaknya yang berusia 9 tahun itu keluar rumah bermain bersama teman-temannya dengan alasan takut dipengaruhi buruk oleh teman-teman anaknya. Sungguh ironis. Padahal anak seusia Gilbert (6-12 tahun) membutuhkan suasana kondusif dalam mengasah pengetahuan menjadi ketrampilan praktis misalnya dengan bermain bersama teman. Hal tersebut diungkapkan oleh Erik Erikson dalam teori perkembangan social manusia. Tokoh psikolog dunia ini mengatakman bahwa anak seusia itu telah memiliki pengetahuan dasar yang baik tentang kemampuan diri dan lingkungan. Setidaknya ada 3 manfaat penting dari memberi waktu bermain bersama teman-temannya. Dengan bermain, anak diajarkan unntuk berbagi, dilatih untuk melindungi kepentingan sendiri dan teman, dan anak usia di atas 8 tahun akan mulai belajar berempati.
Hal ini tidak disadari oleh Liana dan para ibu lainnya. Bermain seakan-akan menjadi sebuah penjahat bagi anak. Walau begitu, sudah banyak sekolah yang menanamkan anak untuk gemar belajar lewat bermain. Sekolah teman bermain (kindergarten) sampai sekolah dasar menyediakan fasilitas permainan edukasi bagi para muridnya.
Seperti terlihat di SDK Ipeka Jakarta Utara, pihak sekolah menyediakan sebuah tempat bermain lengkap dengan alat pengamannya. Permainan berkelompok seperti lomba lari estafet, dan bola tangan menjadi salah satu permainan dalam yang dilakukan dalam bidang studi olahraga setiap minggu. Putri dan Melanita, siswi SDK Ipeka terlihat sangat menikmati permainan bola tangan yang sedang mereka mainkan bersama teman-temannya di bawah pengawasan guru. Tubuh mereka berkeringat dan gerakannyaa sangat lincah. Beberapa kali Melanita melambai-lambaikan tangannya dengan gembira pada penulis ketika timnya berhasil mencetak skor. Tak hanya itu, beberapa temannya juga sempat menolong salah satu teman mereka yang terjatuh. Mereka meniup-niup lutut temannya yang lecet. Mungkin hal ini terlihat biasa, tapi inilah salah satu manfaat dari bermain bersama teman. Mereka belajar berempati. Dengan bermain, anak juga banyak belajar dari lingkungan dan interaksinya dengan teman. Hal tersebut dibutuhkan anak untuk ketrampilan ketika dewasa nanti. (BSB5)

11 January 2009

Kasih sayang memperanguhi perkembangan emosi anak serta arsitektur otaknya

Perkembangan kecerdasan anak ditentukan oleh 2 hal, yaitu jumlah sel otak dan yang lebih lagi adalah jumlah dan kekuatan interkoneksi antar sel otak, ungkap Tony Buzan dalam bukunya yang berjudul Brain Child.
Ia memberikan bukti hubungan tersebut dengan penilitian yang dilakukan oleh seorang psikolog yang menaruh minat pada perilaku kera. Ada 2 kera yang baru dilahirkan dalam waktu yang berdekatan, Jeepers dan Creepers. Ibu bayi Jeepers memberikan perhatian sebagaimana normaknya seekor ibu kera, merawatnya dengan sangat baik.
Lain halnya dengan Creepers, ibunya mati sesaat setelah dia lahir dan Creepers ditinggal dalam sebuah kandang yang didalmnya hanya ada beberapa kera laki-laki dewasa. Setelah keduanya mati, sang psikolog melakukan otopsi pada otak kedua kera tersebut. Dengan takjub, ia mendapati bahwa Jeepers memiliki system saraf mental yang berkembang baik, serupa dengan sebatang pohon ek dengan jutaan cabang yang berjalinan dengan rumitnya.
Sistem saraf mental Creepers sebaliknya, tampak seperti pohon kering. Benar-benar tidak berkembang! Tony menyimpulkan bahwa kasih sayang membuat sistem otak dan tubuh membuka diri, berfungsi dengan baik, menerima, melakukan eksplorasi, dan berkembang.
Jelas sekali, kasih sayang sangat mempengaruhi perkembangan jaringan otak, yang artinya mempengaruhi perkembangan kecerdasan anak serta perkembangan emosinya. Tidak hanya kasih sayang dari orang tua, namun kasih sayang dari lingkungan sekitarnya.

10 January 2009

Peranan penting kasih sayang ayah terhadap anak perempuannya


Apa yang dilakukan seorang ayah terhadap anaknya akan berdampak sangat jauh pada
masa depannya. Bahkan sebelum buah hatinya itu lahir, ayah ikut berperan dalam menentukan sifat sang anak nantinya. Hal itu dinyatakan oleh Michael E Lamb dalam bukunya The Role of The Father in Child Development.
Ia mengungkapkan bahwa hubungan antara ayah dan anak perempuannya akan mempengaruhi kualitas feminin.
Ayah lebih senang mengajak anak perempuannya berbicara daripada bermain, para ayah juga cenderung memilih permainan yang halus untuknya. Tanpa disadari para ayah, sikap tersebut mengarahkan dan menanamkan sikap feminin dalam diri anak perempuan mereka. Dengan meniru ibu dan mengamati reaksi ayah, seorang anak perempuan mengembangkan intuisi dan sikapnya dalam berhubungan dengan lawan jenis.
Dengan cara ini pula si gadis kecil, kelak akan mengasah kemampuannya untuk berhubungan dengan lawan jenis. Karena itu, sang ayah harus tetap menjaga sikap terhadap ibu di depan anaknya.Lamb meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara pengalaman seorang anak perempuan bersama ayahnya dengan kemampuan anak tersebut menjalin kasih sayang dengan orang lain di kemudian hari. Kenangan hubungan anak perempuan dengan ayahnya membuat ia lebih objektif menilai teman prianya. Hal ini juga membekalinya dengan kemampuan menjalin hubungan kasih yang lebih sehat kelak.